Sinar matahari tak begitu terasa menyengat. Awan gelap pun tak menutup birunya langit. Angin sesekali datang memberi kesejukan. Ada yang aneh saat pertama kali aku melihat sosokmu. Kau tampak paling bersinar diantara yang lain di ruangan itu. Berkali-kali aku mencuri pandang ke arahmu. Dan tiap kali itu terjadi, aku tersenyum sendiri. Daavi tengah mencari novelnya saat ia menemukan selembar kertas bertuliskan puisi nan indah itu. Kata-kata sederhana namun nampak jelas menyiratkan sebuah pesan cinta membuatnya penasaran. Kertas memo yang terlihat masih baru itu ia perhatikan benar-benar. MK. Sebuah inisial ia temukan di sana.
Perpustakaan gedung tujuh lantai dasar fakultas ilmu pengetahuan budaya yang mulai terdengar bising karena sekelompok mahasiswa yang asik mengobrol, membuat Daavi mengalihkan perhatiannya keluar jendela. Ia berhenti mengamati puisi yang baru saja ia temukan itu. Ia memandangi awan mendung yang nampak bergerak lambat ke arah barat. Sinar matahari yang memantul indah keoranyean di kaca jendela, agaknya akan segera redup tertutup awan itu. Daavi pun mulai malas memperhatikan langit. Pandangannya segera beralih ke seorang gadis yang tengah melamun dan menatap sesuatu ke arahnya. Mereka saling pandang untuk sejenak. Beberapa saat kemudian, keduanya tersipu malu.
Bias oranye di kaca jendela tepat di sebelahku duduk pudar tertutup awan. Nyanyi gerimis yang merdu melantunkan lagu syahdu. Sebuah senyum yang kau kulum itu menghangatkan kalbuku. Selembar kertas kecil menyelip di buku yang tengah Rani baca. Ia melihat sekitar, tak ada seorang pun yang nampak mencurigakan di sana. Oleh karena arlojinya sudah menunjuk pukul empat tiga puluh sore, ia mengemasi buku-buku yang ia baca. Ia tinggalkan kertas kecil bertinta biru bertulis tiga kalimat romantis itu di atas meja.
Saat salah seorang petugas menyuruhnya pulang karena perpustakaan akan segera tutup, Daavi keluar dari persembunyiannya dan segera menghampiri sebuah meja yang sudah sedari tadi ia perhatikan. Mengetahui tak ada pesan untuknya, ia pun mendesah pelan. Ia ambil kertas kecil yang tergeletak di sana. Tak lama kemudian lampu-lampu perpustakaan padam. Dengan hati kecewa ia pergi meninggalkan perpustakaan, berharap esok masih ada kesempatan lagi baginya.
Keesokan harinya di tempat yang sama, Daavi kembali memandangi langit setelah bosan membaca. Dan lagi-lagi beberapa menit kemudian, matanya bertemu pandang dengan gadis yang sama seperti kemarin sore. Mereka berdua tersipu malu. Daavi baru berhenti memandangi sang gadis setelah ia pergi menaruh sebuah buku ke dalam rak.
Melihat sebuah buku diary tertinggal di atas meja, Daavi jadi teringat sesuatu. Ia mengambil buku agendanya. Puisi yang sempat ia temukan di dalam tasnya, ia ambil dengan segera. Dengan langkah cepat ia menyelipkan puisi tersebut ke dalam buku diary itu. Mengetahui sang pemilik buku diary akan segera kembali, ia pun bersembunyi.
Pandangan Daavi tak lepas dari seseorang yang tengah memegang selembar kertas. Ia melihat sebuah senyum terukir di wajah cantik yang mulai ia kagumi sejak kemarin sore itu. Dengan hati berharap cemas, ia pun menunggu sebuah pesan tertinggal untuknya di atas meja.
***
“Mas, bangun Mas. Kalau mau tidur jangan di perpustakaan!”
Daavi membuka matanya. Sinar lampu yang tepat berada di atas kepalanya membuat matanya silau. Dengan sedikit malas, ia berusaha mengumpulkan tenaga untuk berdiri.
“Mas, kalau mau tidur jangan di antara rak gini dong, kan bikin susah orang yang mau ambil buku. Lagian ini perpustakaan bukan kamar tidur!” ucap seorang petugas perpustakaan ketus.
Daavi melihat sekitar. Ia bingung. Tanpa sengaja matanya tertuju pada selembar kertas.
“Astaghfirllohhalladzim…. Ya ampun Mas, saya minta maaf. Saya ga sadar kalau udah ketiduran di sini. Maaf ya,” ujar Daavi kepada petugas perpustakaan itu dengan wajah malu.
“Ya saya maafin. Laen kali jangan gitu ya Mas. Perpustakaan bukan tempat buat tidur,” ujar sang petugas perpustakaan dengan nada yang masih ketus. Setelah untuk beberapa menit Daavi mendengarkan ocehan petugas perpustakaan tersebut, ia pun mendekati sebuah meja dengan selembar kertas di atasnya. Ia yang mendapatkan pesan yang ia harapkan. Sebuah puisi tertulis untuknya.
Bulan tahu kapan bintang akan datang. Saat gelap tak lagi nampak beda dengan malam, remang pun memberi tanda akan sebuah keindahan yang terpendam diam. Dan dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka, langit memberi tempat bagi mereka untuk berdampingan. Menghias dan memberi keindahan sepi dengan rindu yang mungkin belum kau sadari.
Membaca puisi itu membuat Daavi senang bukan kepalang. Ia merasa ingin mengenal gadis itu lebih dalam.
Keesokan harinya Daavi melakukan hal yang sama. Begitu pula dengan lusa dan hari-hari setelah itu. Ia menyelipkan puisi-puisi buatannya satu per satu ke dalam buku diary hijau muda yang sudah mulai nampak tak asing baginya. Balasan akan puisi yang ia tulis itu pun tak pernah berhenti begitu saja.
Satu minggu kemudian Daavi tak lagi menemukan sosok yang biasanya ia pandangi di perpustakaan itu. Ia sedih. Rasa rindu dan harapan untuk mendekati sang gadis itu pun ia paksakan pergi setelah tiga hari tak berjumpa. Angan-angannya untuk menjadikan gadis itu kekasihnya hilang sudah.
***
“Hai.”
Daavi menoleh ketika mendengar seseorang bicara padanya. Wajahnya merah merona saat mengetahui siapa yang menyapanya. Ia pun terpaku sejenak saat melihat orang itu tersenyum padanya. Tatapan mata yang sebelumnya kosong memandangi danau kampus dari atas jembatan Teknik Sastra pun perlahan berbinar. Senyum tulus menyusul kemudian, membalas sapaan seseorang yang telah tersenyum padanya lebih dulu itu.
“Aku Rani. Boleh tau nama kamu?”
“Daavi. Satria Kadaavi. Kalau kamu?”
“Mahadewi Kirani”
“Mahadewi Kirani? MK?”
“Ya, MK. Aku yang tulis puisi itu.”
Tanpa banyak kata Daavi mengerti sudah. Puisi yang sempat ia temukan rupanya puisi Rani yang memang sengaja Rani taruh ke dalam tasnya. Perasaan malu karena teringat kebodohannya yang sempat menyelipkan puisi itu ke dalam buku diary Rani perlahan hilang. Mereka pun tersenyum bersama dan dalam indahnya hati yang tengah berbunga mereka menikmati jingganya langit sore itu berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar