Ada hal yang membuat saya secara rutin setiap beberapa bulan sekali disunahkan mengunjungi Semarang. Namun karena belakangan ini saya sedang mudah bosan dan gampang merasa penat, saya selipkan lah sedikit rencana jalan-jalan di dalam itenary.
Saya dan suami berangkat Sabtu pagi dengan kereta kelas ekonomi, dengan harapan bisa menghemat uang untuk disumbangkan dalam budget jalan-jalan di Semarang nanti. Capai memang. Kurang nyaman. Kereta ekonomi yang sudah ditakdirkan untuk selalu sabar tiap kali ada kereta yang menyalipnya, membuat dia sering berada di posisi paling belakang, paling belakang untuk cepat sampai stasiun tujuan.
Sesampainya di Stasiun Poncol Semarang, stasiun khusus di Semarang untuk kereta api kelas ekonomi, kami menunggu orang dari jasa penyewaan motor datang mengantar motor yang kami sewa. Cukup menahan emosi kali itu. Matahari tengah terik-teriknya saat itu dan kami sungguh kelaparan. Orang dari jasa penyewaan juga agak seenaknya, mengoper-oper pertanyaan kami "motornya sudah sampai mana?" ke beberapa orang dengan beberapa nomor HP. Kalau bukan karena, jasa penyewaan motor tersebut ada pertalian pertemanan dengan adik saya, rasanya ingin saya batalkan saat itu juga. Mereka terlambat mengantar motor sampai satu jam lebih dan untuk tau posisi lokasi motor sewaan kami sudah diantar sampai mana kami yang diminta menghubungi langsung beberapa nomor HP berbeda, belum lagi harga sewanya terbilang cukup mahal untuk saya yang sudah sempat punya pengalaman beberapa kali menyewa motor. Saya pikir dengan terlambatnya mereka akan ada potongan harga, ternyata tidak. Samasekali belum profesional *elusdada Tapi, begitu bertemu dengan mereka, orang yang mengantar motor sewaan kami, saya kasihan juga. Terlihat sekali mereka sebaya adik saya, yang berusaha mandiri dengan bergelut mencari penghasilan sendiri. Ya mudah-mudahan saja pelayanan mereka akan semakin membaik nantinya.
Oleh karena cuaca sedang panas-panasnya, kami juga kelaparan, dan sudah menunggu hampir satu jam, maka saya dan suami memutuskan untuk meminta mereka mengantar motor sewaan ke hotel yang hendak kami inapi saja. Terus, bagaimana dengan kami bisa sampai hotel?? Jalan kaki! Iya, JALAN KAKI. Suami tercinta berusaha menyakinkan saya berulang kali bahwa jarak stasiun dengan hotel cukup dekat. Sebenarnya, tidak terlalu dekat, meski tidak jauh juga. tapi terik matahari yang garang dan perut yang keruyukan membuat yang sedekat apapun jadi terasa menjauh berpuluh-puluh meter.
Begitu sampai di hotel, pengantar motor sewaan juga sudah sampai. Suami mengurus transaksi penyewaan motor. Saya mengurus administrasi inap hotel.
Oya, saat itu kami memilih menginap di Hotel Ibis Budget. Selain karena sedang mengadakan promo harga, lokasi yang cukup dekat dengan Lawang Sewu membuat kami memilih hotel tersebut untuk bermalam. Maklumlah, sedari awal kami memang berharap bisa mengunjungi Lawang Sewu.
Ternyata kamar hotel tidak sebesar dugaan saya, meskipun saya tahu bahwa foto kamar di website mereka pastilah dinampakan luas padahal aslinya tidak, tetap saja saya pikir tidak sekecil & sesempit itu. Berita baiknya, kamar tersebut sudah sangat cukup bagi pasangan dengan budget yang terbatas dan hanya meginap untuk tidur satu atau dua malam saja. Saat itu dengan harga per malam sekitar Rp310.000, sudah cukup lah bagi kami yang fokus benar dengan budget cekak, karena sudah termasuk sarapan.
Perut keruyukan membuat saya dan suami segera mencari tempat makan. kebetulan saat itu ada teman kantor suami yang sudah lebih dulu sampai di semarang dalam rangka jalan-jalan, dan membagikan sedikit info melalui twitter. Karena penasaran, saya dan suami pun mencoba menikmati makan siang di restaurant yang sudah disebutkan dalam tweet mereka. Toko Oen di Jalan Pemuda, Semarang.
Menunya beragam disana, namun nampaknya yang paling hits menu steaknya. Kami pun ingin mencoba kelezatan steak mereka. Setelah terpaku beberapa menit karena harga menu makanan mereka yang cukup menguras kocek dan sempat berpikir batal makan siang disana, akhirnya kami memutuskan memesan menu. Sekali-sekali lah, saya pikir.
Suami pesan beef steak dan saya pesan steak lidah sapi. Sempat membuat kami berpikir untuk kesekian kalinya juga saat menunggu pesanan kami diantarkan, pasalnya disana menjual steak daging babi. Bagi muslim seperti kami, kehalalan juga patut diperhitungkan. Memang sih kami tidak memesan menu tersebut, tapi karena kami juga tidak tahu apakah mereka memisahkan peralatan memasak daging babi dengan daging lainnya atau tidak, kami pun sempat ragu. Setelah saya melihat sekitar dang mengetahui bahwa cukup banyak pelanggan berkerudung makan disana, dengan mengucap basmallah dalam hati, kami pun tetap memutuskan untuk makan siang di sana.
*steak lidah sapi
*beef steak
Selesai makan, kami segera menyelesaikan urusan utama yang menjadi alasan kami pergi ke Semarang. Saya pikir tidak akan sampai malam, karena saya ingin sekali berkeliling Semarang berduaan dengan suami, tentu saja dengan sepeda motor yang sudah kami sewa. Berhenti di suatu tempat romantis. Makan malam dengan penuh kemesraan. Dan mengcapture sisi-sisi Semarang yang menarik untuk dibagikan. Sayang sekali, semuanya itu, ya semuuuaaanya itu hayalan saya saja. *manyun Untuk makan malam pun, kami terpaksa asal makan di warung seadanya yang lauknya sudah mulai habis. Kami pulang terlalu larut, menjadikan segala harapan saya tadi mentah-mentah jadi hayalan saja. :))
Esok harinya kami bagun agak kesiangan. Pukul delapan kami sarapan dengan sekitar empat sampai lima menu yang disediakan hotel. Kembali ke kamar dan segera bergiliran mandi agar sewa motor jadi tidak sia-sia, karena kami ingin sekali jalan-jalan hemat.
Sudah wangi. Sudah dandan. Kami segera cuuusss... langsung menuju Lawang Sewu. Lokasi rekreasi yang paling dekat dengan hotel.
Sesampainya di Lawang Sewu, cukup mengecewakan juga bagi saya karena tempat parkir yang seolah tidak direncakan dengan benar-benar. Tempat parkir sepeda motor dan mobil hanya di pinggir jalan dan di samping kali. Rasanya aneh buat saya. Kalau saya yang parkir sepeda motornya, saya ragu bisa selamat, mungkin bisa jadi saya nyemplung ke kali, karena motor diparkir menghadap kali persis. Yang seperti ini hanya ada di Indonesia. #saveIndonesia Terbayang ga, bagaimana malasnya pengunjung Lawang Sewu yang datang menggunakan mobil?? Parkir pinggir kali di jalanan kecil yang sempit. Resiko nenggor mobil sebelah atau nyemplung ke kali jadi tantangan sekaligus hambatan untuk tetap memutuskan mengunjungi Lawang Sewu. Untung saja HTMnya gak bikin sakit hati. Hehehe.
Beberapa bagunan Lawang Sewu dilarang untuk dimasuki, katanya masih dalam masa perbaikan. Kami pun berjalan-jalan di bangunan-bangunan yang terbuka untuk umum. Saya kagum juga lihat bagunan-bangunan tua Lawang Sewu. Tiba-tiba muncul imajinasi latar sebuah cerita fantasi macam Harry Potter. Tempat ini juga cocok bagi yang ingin memiliki foto prewedd cantik artistik.
Tidak terasa hari semakin siang, kami harus bergegas kembali ke hotel karena kami mengambil penerbangan sekitar pukul satu untuk kembali ke Jakarta. Itu artinya, setidaknya sudah check out dari hotel sekitar pukul sebelas atau paling lambat setengah dua belas demi mengejar check ini satu jam sebelumnya, karena saat itu saya lupa mencari tau online check in.
Kembali ke Jakarta dengan maskapai penerbangan Citilink. Kalau sudah membaca postingan jalan-jalan saya sebelumnya sewaktu saya pergi ke malang dengan Citilink, mungkin akan terheran-heran kenapa untuk kedua kalinya saya masih mau berpergian dengan maskapai satu ini. Alasannya sederhana, lagi-lagi budget. Uang kadangkala membuat langkah kita terbatas, meski harapan kita tak terbatas.
Kekhawatiran saya akan mengulangi drama penerbangan dengan Citilink terjadi. Take off seperti tidak juga usai. Pesawat dalam keadaan miring ke atas dalam waktu cukup lama. Entah itu hanya perasaan saya atau memang begitu nyatanya, tapi suami juga merasakan hal yang sama. Di atas pun sempat beberapa kali turbulensi. dan landingnya apa lagi... Persis sama kejadian saat saya pergi ke Malang dengan Citilink. Ya, seperti naik wahana Histeria Dunia Fantasi untuk kesekian kalinya. Bedanya, kali itu saya harus mengalami itu bukan untuk sekali, tetapi beberapa kali. Landing jadi semakin terasa menggelisahkan dan menyeramkan sekali buat saya. dan etah kenapa, kok ya rasanya tidak juga sampai daratan, masih saja di udara.
Kali itu tidak hanya pusing seperti saat pergi ke Malang, saya sangat mual. Beberapa kali terasa sekali makanan yang sudah saya telan terasa sampai tenggorokan. Saya mencari kresek. Sial sekali, dalam saku bangku pesawat tidak disediakan kantong apapun bagi penumpang yang mual jika sewaktu-waktu mabok udara dan muntah. Saya korek-korek isi tas, lemas sudah, tidak ada satu pun kantong buat saya berjaga-jaga. Saya memucat, badan melemas, mual, pusing, dan menahan muntah, Rasanya sudah tidak tahan lagi, tapi episode landing kali itu belum juga selesai. Berusaha memejamkan mata dan tidur nampaknya sia-sia. Saya pasrah sudah.
Begitu pesawat sampai didarat dan berhenti, saya cepat-cepat keluar. Turun dari pesawat, bumi seperti berguncang padahal tidak. Siap-siap memuntahkan isi perut nyatanya gagal tapi menyisakan rasa ganjal di tenggorokan. Suami pun membawa saya ke salah satu tempat makan di bandara segera. Memesan soup hangat agar saya merasa baikan. Butuh waktu hampir sejam bagi saya agar terasa fit lagi. Dan begitulah perjalanan kali itu. JJS alias Jalan-Jalan Sebentaran doang yang cukup membekas di ingatan, karena penerbangan yang sungguh kali ini membuat saya kapok berpergian dengan maskapai itu lagi.
_______________________________________________________________________
*note
-kali = sungai kecil
-dalam menu Toko Oen disebut bistik, dlm benak saya "bistik & steak bedakah??"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar