Jadi ceritanya, dalam rangka #ProveticPindahKeBali jalan-jalan lah saya ke Pulau Dewata nan indah itu. Apa itu #ProveticPindahKeBali? Provetic itu nama kantor tempat suami bekerja. Kantor suami punya kegiatan outing bareng ke suatu tempat, dan kali ini ke Bali. Saya sempat menggumam, enak kali ya kalo keluarga pun diikutsertakan gratis, bukan hanya karyawan Provetic-nya aja. Eh, gumaman saya terdengar Tuhan rupanya. Saya dan keluarga karyawan Provetic lainnya diajak ikut serta kesana, ya meskipun tiket penerbangan saya pakai potong gaji suami katanya...yang penting dan lain-lainnya gretong, hehe. Itung-itung suami nyenengin istri lah ya... *nyengir.
Selasa, 11 November kira2 pukul sembilan saya dan suami ketemuan dengan karyawan Provetic lainnya di Bandara Soekarno Hatta. Setelah check in dan sarapan, kami pun terbang dengan Citilink menuju Bali.
Masih inget cerita saya tentang Citilink di beberapa posting sebelumnya??? Haha, iya saya mengingkari janji saya. Maaf Ya Allah. Abis mau gimana, masa beda penerbangan sama suami??
Penerbangan dengan Citilink kali itu benar-benar mengubah opini saya tentang maskapai yang satu itu. Setelah beberapa kali dibuat pusing dan mabuk udara, kali ini penerbangan saya berjalan mulus...semulus paha ayam suntikan.
Saya gak ngomongin turbulensi ya, karena kalau soal turbulensi, selain kemampuan pilot, disana juga ada faktor tangan Tuhan yang menentukan. Jadi susah memberi opini kalau menyangkut turbulensi. Jadi yang saya fokuskan disini adalah take off dan landing. Di luar dugaan. Saya yang seperti biasa selalu deg-degan kalau naik pesawat sampai-sampai tiap kali take off dan landing pegangan kencang ke kursi sembari komat-kamit baca doa, merasa aneh dengan situasi saat itu. Sampai-sampai sempet ngintip ke balik jendela, kita nih udah terbang belum sih? Take off saat itu, jauh lebih smooth dari terakhir kali saya naik Citilink. Eh, ga boleh seneng dulu, ga tau gimana ntar landingnya, gumam saya dalam hati.
Oya, ada cerita lucu dalam pesawat sesaat sebelum take off. Melalui pengeras suara, sang pramugari tiba-tiba berkata "selamat datang kepada Bapak Didit Hersanto. Semoga penerbangan pertama anda menyenangkan bersama kami." Haha. Si Bapak yang namanya disebut itu adalah salah seorang kawan suami yang juga bekerja di Provetic. Karena peristiwa seperti ini jarang sekali terjadi, saya pun tanpa sadar jadi ikut tertawa cekikikan dan sempat untuk beberapa menit lupa dengan rasa deg-degan yang melanda. Iya, memang kali itu pertama kalinya dia naik pesawat. :D
Prepare for landing, suara pilot yang ngebass mengudara melalui pengeras suara dalam pesawat setelah sekitar sejam lebih sunyi. Oke deg-degan dimulai lagi. Saya sebal, kenapa hanya bisa tertidur diantara take off dan landing, bukan di saat take off dan landing itu sendiri. Kan enak, melek-melek udah di darat sampai dengan selamat, ga perlu pakai deg-degan *mauuunnyaa??!
Komat kamit lah saya lagi, keringat dingin, pegangan tangan suami sembari pencet udel, kata suami supaya ga mual kalau landingnya ga mulus. Eh eh... landing mulus lagi, bahkan ngeremnya pun ga sampe bikin badan kayak mau cium bangku depan. Wow wow! Saya dan suami kemudian bertatapan, dan dia bilang, "emang tergantung pilotnya ya?"
Hore, akhirnya sampai juga di Bali!!! Saat itu, saya berharap mudah-mudahan jalan-jalannya menyenangkan, berhubung teringat terakhir ke Bali meninggalkan sedikit kesan yang kurang mengenakan.
Terakhir ke Bali kira-kira setahun setelah peristiwa bom Bali pertama. *udahlamabangetya? Saat itu saya sedang jalan-jalan di trotoar jalanan Bali dengan beberapa orang teman yang berhijab, begitu pun dengan saya. Awalnya saya tidak meyadari sampai akhirnya saya mengerti, yang mereka maksud bukanlah memberi salam dalam bahasa arab dengan sungguh-sungguh, tetapi bermaksud mengejek karena menyampaikan Assalammualaikum dengan cekikikan dan memicingkan mata. Saya diam saja, dan tidak marah sama sekali, hanya merasa kurang nyaman. Saya kurang nyaman karena yang melakukan itu bukan warga asing, melainkan WNI sendiri yang nampak dari bicaranya berlogat Bali.
Saya mengerti, bagaimana pun juga peristiwa bom Bali meninggalkan bekas yang tidak menyenangkan bagi warga di Bali. Jadi saya tidak mau beropini, karena saya mengerti pasti berat kehilangan sanak famili.
Hanya saja memori itu entah kenapa membuat saya sungguh-sungguh berharap, perjalanan di Bali kali ini akan menyenangkan sekali.
Dari bandara kami dijemput dengan bus mini untuk mengantar kami ke hotel. Namun, sebelum sampai hotel kami mampir di Tempat Makan Ayam Betutu Pak Man. Wuiidih, mantep sekali disana, makanannya enaak sekali. Udah gretong, enak pula makanannya, berlipat-lipatlah rasa enak & syukur saya. :)
Sampai di hotel, saya amaze banget. Hotelnya cakep banget, mana dapet kamar sea view dengan taman kecil yang begitu cantik dilihat dari balkon pula. Baru saya mau nyeletuk, eh suami udah sempet nyeletuk duluan, "yah...bunda lagi mens." Hahaha. *sayaanggapkalianmengerti
Sampai di hotel, saya amaze banget. Hotelnya cakep banget, mana dapet kamar sea view dengan taman kecil yang begitu cantik dilihat dari balkon pula. Baru saya mau nyeletuk, eh suami udah sempet nyeletuk duluan, "yah...bunda lagi mens." Hahaha. *sayaanggapkalianmengerti
Lobby Hotel menghadap laut langsung.
Sayang cahayanya terlalu terang ketika saya potret.
Foto saya dan suami di salah satu sudut lobby hotel.
Nah yang ini pemandangan yang bisa dilihat
dari balkon kamar saya dan suami.
Hari pertama, acara bebas. Setelah beristirahat sebentar dan ganti popok, saya menemani suami main di pantai bersama teman-temannya. Saat langit mulai gelap, kami pun pindah ke area kolam renang. Kalau teman-teman suami berenang, suami cuma nyemplung dan main air, maklum lah dia ga bisa berenang. Saya jadi gregetan juga pengen nyebur terus narik suami biar latihan berenang bareng. Tapi, hari pertama datang bulan membuat saya mengurungkan niat buat ikutan nyebur ke kolam. Oya, pemandangan area kolam renang dan pantai juga terlihat cantik loh dari dalam lift hotel.
Sudah pukul setengah tujuh malam, saya pun mengajak suami untuk keluar kolam. Siap-siap makan malam.
Pukul delapan malam kami berkumpul di lobby hotel dan tidak lama kemudian kami menuju Benkay Restaurant. Restaurant khas jepang dalam hotel. Satu-per satu kami disuguhkan empat macam lebih makanan bergantian.
Foto makanan terakhir di atas itu katanya nasi goreng Jepang. Saya sengaja memesan porsi yang lebih sedikit, karena sudah keburu kenyang dengan makanan-makanan sebelumnya. Perut sampe ngebuncit. *emangdasarbuncit Hehe.
Selesai makan malam, kami kembali ke kamar masing-masing. Tidak ada acara malam itu, jadi saya dan suami pun memilih langsung ke kamar dan bermalas-malasan menikmati kamar hotel nan nyaman.
Esok harinya, sekitar pukul sepuluh menuju sebelas, kami berkumpul kembali untuk jalan-jalan ke Kintamani dan pemandian Tirta Empul. Di tengah jalan, kami istirahat sejenak untuk makan siang di Rumah Makan Tepi Danau. "Holy shit!", kata salah seorang bule disana melihat pemandangan tepat di samping rumah makan itu. Ya, indah sekali meski langit mendung memayungi.
Usai makan, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi yang sudah ditentukan sebelumnya. Tirta Empul. Loh Kintamaninya??? Saya juga bingung. Apa yang dimaksud Kintamani itu daerah tempat rumah makan itu berada??
Sampai di Tirta Empul, saya harus menahan kecewa karena peraturan di sana bilang, bagi yang datang bulan dilarang masuk. Alhasil saya pun hanya menikmati bagian luar Tirta Empul sembari menunggu suami keluar dari pintu keluar.
Pemandangan dari dalam lift.
Memotret dari kursi baring tepi pantai.
Megahnya hotel tempat kami menginap.
Kolam renang besar yang sungguh bikin pengen nyebur.
Sudah pukul setengah tujuh malam, saya pun mengajak suami untuk keluar kolam. Siap-siap makan malam.
Pukul delapan malam kami berkumpul di lobby hotel dan tidak lama kemudian kami menuju Benkay Restaurant. Restaurant khas jepang dalam hotel. Satu-per satu kami disuguhkan empat macam lebih makanan bergantian.
Foto makanan terakhir di atas itu katanya nasi goreng Jepang. Saya sengaja memesan porsi yang lebih sedikit, karena sudah keburu kenyang dengan makanan-makanan sebelumnya. Perut sampe ngebuncit. *emangdasarbuncit Hehe.
Selesai makan malam, kami kembali ke kamar masing-masing. Tidak ada acara malam itu, jadi saya dan suami pun memilih langsung ke kamar dan bermalas-malasan menikmati kamar hotel nan nyaman.
Esok harinya, sekitar pukul sepuluh menuju sebelas, kami berkumpul kembali untuk jalan-jalan ke Kintamani dan pemandian Tirta Empul. Di tengah jalan, kami istirahat sejenak untuk makan siang di Rumah Makan Tepi Danau. "Holy shit!", kata salah seorang bule disana melihat pemandangan tepat di samping rumah makan itu. Ya, indah sekali meski langit mendung memayungi.
Usai makan, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi yang sudah ditentukan sebelumnya. Tirta Empul. Loh Kintamaninya??? Saya juga bingung. Apa yang dimaksud Kintamani itu daerah tempat rumah makan itu berada??
Sampai di Tirta Empul, saya harus menahan kecewa karena peraturan di sana bilang, bagi yang datang bulan dilarang masuk. Alhasil saya pun hanya menikmati bagian luar Tirta Empul sembari menunggu suami keluar dari pintu keluar.
Lega juga waktu akhirnya liat suami nongol dari pintu keluar. Karena saya sempat lihat ada anjing keliaran. Saya takut anjing. Dan, supaya ga mentah-mentah banget ga bisa masuk Tirta Empul, saya pun berpose bersama suami tercinta di depan pintu keluar Tirta Empul yang cantik.
Berhubung perjalanan yang cukup jauh dan memakan waktu hampir seharian hanya untuk mengunjungi Tirta Empul, kami pun langsung menuju hotel .
Sudah diberitahu kalau kami harus berkumpul lagi di lobby hotel pukul delapan malam untuk gala dinner di Jimbaran. Tapi darah rendah saya tau-tau kumat. Ya dua hari itu memang datang bulan saya lumayan bikin repot karena sedang banyak-banyaknya. Itu yang membuat saya menduga, otak seperti kehabisan darah beroksigen yang membuatnya jadi sakit, sakit sekali. Kepala rasanya berat, seolah ditekan kencang di beberapa titik dengan benda tumpul, dan bumi seperti berputar-putar. Saya sampai menangis seseunggukan malam itu.
Saya minta suami untuk ditinggal saja di kamar hotel supaya yang lain tidak lama menunggu. Soal, bagaimana nanti saya makan malam gampang lah, saya bisa minta tolong orang hotel untuk membelikan makanan, pikir saya. Tapi karena suami merasa gak enak dengan yang lain, dia pun rela menunggu sampai sakit kepala saya reda, yang alhasil membuat kami sempat ketinggalan rombongan. Maaf ya, jadi bikin yang lain nunggu lama dan dinner nya gak tepat waktu.
Di Jimbaran kami makan di tepi pantai persis. Dengan suara debur ombak malam dan live concert yang terdengar lebih lirih dari suara ombak yang sempat beberapa kali mengagetkan saya, saya rasa disana tempat yang cocok bagi pasangan yang ingin bermesraan makan malam berdua. ;)
Seperti malam sebelumnya, usai makan malam, kami langsung pulang. Dan, meskipun yang lain masih berkumpul lagi beberapa menit kemudian setelah sampai hotel, saya dan suami memilih mandi lalu langsung tidur.
Esok harinya rombongan terbagi menjadi beberapa grup. Saya dan suami memtuskan untuk bergabung dengan grup tanah lot dan kuta. Artinya, kami pergi ke Tanah Lot dan pantai Kuta, Bali. Sik asik.
Grup kami tidak muat hanya dengan menyewa satu mobil, jadi mau tidak mau kami pakai dua mobil. Driver di mobil saya dan suami --juga dua orang teman--yang kami tumpaki--sebut saja namanya Belih Xena.
Perjalanan dimulai dengan pertanyaan seorang teman, kenapa beberapa pohon di Bali seperti dibungkus kain kotak-kotak putih hitam. Saya tahu jawabannya. Saya tahu itu dari penjelasan seorang tour guide sewaktu saya ke Bali dulu. Tapi, supaya ramai dan menghargai pembicaraan tersebut sebagai salah satu cara untuk membaurkan beberapa orang dalam mobil menjadi satu kesatuan yang tak malu-malu sungkan, saya pun diam. Mempersilahkan Belih Xena menjelaskan dan menyimak setiap kalimatmya.
Pertanyaan berlanjut pada, "kenapa kainnya mesti kotak-kotak hitam putih?" Oke, yang satu ini saya tidak tau. Selama ini saya hanya menduganya saja. Menduga kain kotak-kotak hitam putih sebagai suatu hal yang erat kaitannya dengan yin dan yang. Belih Xena kembali menjelaskan, dan ternyata dugaan saya benar, mirip meyerupai yin dan yang. Tentang keseimbangan dunia, bahwa dimana ada yang buruk pasti ada yang baik, semua berdampingan.
Penjelasan Belih Xena menjalar ke banyak hal. Ras, agama, dan demokrasi katanya. Oya, juga soal makanan Bali. Termasuk Babi Guling. Saya menyimaknya dan tidak sekali pun menyela. Karena buat saya, penjelasan beliau adalah salah satu dari banyak sudut pandang yang harus saya hormati dan saya pun senang mendengarkannya. Bahwa keberagaman penduduk Indonesia memang sangat bisa disikapi dengan terbuka, saling menghargai, dan tanpa mengesampingkan keyakinan masing-masing.
Tiba-tiba beliau berkata kurang lebih begini, "Si mbak soleha ini mungkin mau muntah. Kata dia, belih ini ngomong apa...!" Hanya saya satu-satunya wanita di dalam mobil. Dan ya, saya berhijab. Jadi sudah jelas 100% kalimat tersebut tertuju untuk saya. Seketika itu, saya tersentak dan--jujur saja--tersinggung. Saya pun langsung menimpali dengan sopan, "Ya gak lah Belih.. Gak gitu."
Saya tidak mengerti, kenapa seseorang yang menggebu-gebu menceritakan demokrasi dan kesenangannya beradu argumen tentang keberagaman Indonesia, bisa tiba-tiba menyeletuk seperti itu. Saya sungguh tidak nyaman. Sampai-sampai saya mengingat-ingat kembali apakah ada sikap saya yang menyakiti beliau atau mungkin ada sikap saya yang seolah tidak mau mendengarkan.
Oke, sesekali saya mengambil permen, dan memakannya, tapi pandangan & tatapan saya--jikalau saja beliau melihatnya--benar-benar tertuju fokus menyimak setiap penjelasannya, menyimak setiap pembicaraannya. Saya pun mengambil permen karena saya punya kecenderungan mengantuk saat melakukan perjalanan dalam mobil. Supaya saya tidak tertidur di tengah-tengah pembicaraan yang begitu mengispirasi sekali untuk saya dengar dan simak, maka saya makan permen. Jadi, sudah mengerti kah dimana letak ketersinggungan itu??
Meskipun seolah dalam kalimatnya ada sikap yang belum menerima perbedaan dengan sepenuhnya, tetapi bukan itu yang mengganggu saya. Saya begitu mendedikasikan diri mendengar setiap kalimat beliau, sedikitpun tidak menaruh rasa tidak hormat, sedikit pun tidak mempermasalahkan perbedaan agama dan sudut pandang, tetapi kenapa justru harus diakhiri dengan kalimat yang membuat saya seolah bertepuk sebelah tangan memahami sebuah keberagaman??! Ah yasudah, akhirnya saya putuskan, untuk menganggap kalimat itu hanya lah gurauan semata. Tapi sayangnya, saya kembali merasa tak nyaman saat beliau memanggil suami dengan panggilan Pak Haji.
Saya tau benar suami saya kesal karena panggilan itu. Saya pun tau dia menutup pintu mobil sembari sedikit membanting, sehingga bunyinya jadi lebih keras dari pintu-pintu lain yang menutup. Saya mengelus pundaknya dan saya bilang, "Sabar, sayang. Di-amin-i aja."
Ya, dengan perasaan tidak nyaman yang menggantung kami sampai di Tanah Lot, Bali. Saya lupakan yang baru saja terjadi. Saya ke Bali mau senang-senang. Dan saya pun sungguh berharap hal itu tidak membuat mood suami lantas jadi buruk. Jadi saya tidak mau membahas hal itu lagi.
Setelah semuanya berkumpul, masuk lah kami ke dalam jalan masuk menuju Tanah Lot. Sepanjang kiri kanan jalan masuk dipenuhi toko-toko pakaian, makanan, pernak-pernik khas Bali. Sempat beberapa kali saya melirik beberapa sudut toko yang menjual pernak-pernik, rasanya ingin menghampiri, tapi tangan suami yang menggandeng saya seolah bilang, tahan dulu beli-belinya nanti aja. Jadi, saya pun mengalihkan pandangan lurus ke depan. :))
Puas main dan foto-foto di Tanah Lot kemudian kami pergi ke Pantai Kuta. Ya, banyak orang berjemur di sana. Syukurlah Belih Xena menurunkan kami di pesisir Pantai Kuta yang bukan lokasi berjemur. Jadi bisa menikmati pantai seutuhnya tanpa harus merasa cemburu karena bisa saja mereka (khususnya wanita) yang berjemur menarik perhatian para lelaki bujang atau pun tidak. Ah, tapi saya percaya suami sih. Walaupun pasti saya cubit-cubit sedikit, kalau memang kami harus melihat pemandangan jemur-menjemur itu. :))
Saya dan suami menyusuri Pantai Kuta sembari menunggu sunset. Berduaan menikmati sore mendung itu. Tanpa diduga, kami bertemu seorang kawan semasa SMA sedang berfoto dengan istrinya. Saya pun memanggil, kami mengobrol sedikit, berfoto bersama dan berpamitan. Suami bilang, "adoh-adoh aring Bali ketemune wong Tegal maning, wong Tegal maning". *ngapakerberaksi Haha.
Cantiknya sunset di Pantai Kuta meski mendung.
Ceritanya mau foto selfie siluet berdua suami,
sayang ada orang di belakang.
Sekitar pukul delapan malam, kami beranjak pulang ke hotel. Sampai di hotel, saya ganti baju sebentar kemudian keluar lagi untuk makan malam bersama di salah satu restaurant hotel. Ada beberapa restaurant di hotel yang kami inapi, sempat membuat kami jadi bingung, berpindah-pindah tempat.
Sempat kami datangi restaurant hotel dekat kolam renang. Saat semua sudah duduk manis, salah seorang pelayan restaurant keluar dan menyampaikan saran yang intinya untuk tidak makan disana dengan alasan keterbatasan bahan dan belum mempersiapkan sebelumnya melayani rombongan kami. Kami yang sudah kelaparan ini mengalah.
Pindah lah kami ke restaurant lain di hotel yang menyajikan menu masakan Cina. Karena hanya ada sedikit kursi di dalam restaurant, kami dipersilahkan duduk di bangku luar di depan restaurant. Tidak lama kemudian hujan turun. Pindah lah kami ke dalam restaurant dengan bangku seadanya. Baru saja mengambil makanan utama, pelayan bilang makanan utama akan segera ditutup, jadi kami diharapkan untuk segera mengambil makanan utama, karena mereka hanya meninggalkan makanan penutup saja. Hmm... saya sedang lapar jadi gak ada urusan. Haha. Suami yang protes, katanya, itu ga sopan.
Selesai makan, hari masih hujan. Rasanya nikmat sekali segera berbaring di kasur empuk nan nyaman. Saya dan suami langsung ke kamar. Seperti biasa, tak lama kemudian kami terlelap dalam lelah yang tak mau mengalah.
Hari terakhir, tidak ada acara lagi. Pukul dua belas siang nanti kami juga harus check out. Jadi saya dan suami gak berani keliling Bali lagi, kawatir tidak cukup waktu. Setelah sarapan pagi, saya segera kembali ke kamar hotel karena sakit perut, sementara suami menikmati sauna pagi hari.
Mulanya saya ingin main air sebentar di pantai atau kolam renang, tapi sakit perut yang hanya menggertak sesekali membuat saya mengurungkan niat, karena harus bolak balik kamar mandi. Singkat cerita sampai lah kami di waktu check out dan menunggu bus untuk mengantar ke bandara. Berpisah dengan kesenangan sementara dan bertemu realita. Kami pun sampai di Bandara Soekarno Hatta. Dan sekali lagi, take off & landing berjalan sempurna. Hanya satu saja kendala, tapi nampaknya hal itu sudah barang biasa, kemacetan Jakarta.
***
PS. Kalau ditanya senang tidak di Bali, saya senang sekali. Terima kasih Provetic sudah mengajak saya berjalan-jalan di sana. Tapi kalau, di kemudian hari saya boleh memilih destinasi, sepertinya bukan
lagi Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar