Kamis, 20 November 2014

# Buku

Studi Sejarah dari Membaca Novel Berlatar Histori Nyata

Kali ini saya mau mengulas tentang tiga buku yang sudah dan sedang saya baca. Saya ulas satu per satu ya.

1. Kei : Kutemukan Cinta di Tengah Perang
  

Novel karangan Erni Aladjai ini benar-benar menarik. Mengisahkan pertemuan cinta dua anak mudah, yang sepertinya dari yang saya tangkap, masih kinyis-kinyis. Tapi kisah cinta yang coba digambarkan disini bukan cinta monyet anak muda biasa, bukan cerita cinta ABeGe ABeGe cilik yang sok didewasa-dewasakan. Kisah cinta yang diceritakan disini adalah kisah cinta yang terbentuk keadaan, bukan yang diwarnai gombal, atau kata-kata indah dan remeh temeh rayuan menggelikan. Kisah cinta di tengah kerusuhan.


Novel ini begitu kuat mengangkat sejarah pulau Kei semasa kerusuhan Ambon dulu. Begitu dominan menceritakan salah satu sejarah Indonesia. Sehingga seolah, saya ikut terlibat di dalamnya. Sehingga sekarang, saya jadi penasaran dengan pulau yang satu itu. Betapa Indonesia sungguh beragam dan kaya.

Latar yang diambil dalam novel ini membuat saya belajar meneliti sejarah, tidak semata-mata percaya pada pemberitaan media. Sebelumnya, saya sungguh tidak pernah tahu bahwa kerusuhan di Ambon bisa lah sungguh begitu menyeramkan. Dan sungguh lah, dari membaca ini saya pun merasa benar bersikap terbuka dan menjaga keberagaman dengan harmonis. Tidak semata-mata memandangnya dengan memicingkan mata, seolah manis namun hanya berpura-pura, lalu tau-tau ribut saja.




2. Notasi


Gak disangka novel ini berbobot juga. Saya pikir dari judulnya, saya akan membaca cerita cinta berfantasi nada. Nyatanya tidak. 

Memang lah kisah cinta itu selalu indah diceritakan. Sepahit apapun itu, sepilu apapun itu, bila dalam sebuah buku, sudah lah menjadi kenangan yang merangsang sudut pandang berkembang, dan menjadi kisah yang mungkin saja menginspirasi hati untuk berjaga-jaga.

Novel ini menceritakan dua orang yang bertemu di sekitaran tahun 98 dimana Indonesia sedang seperti jengah pada pemerintah. Setidaknya begitu yang saya tangkap dari sana.

Tak lama bertemu, pasangan muda mudi yang menjalin asmara tanpa berkata cinta, tanpa melafal kalimat-kalimat dirasa, dan hanya menjalaninya saja ini, harus berjumpa dengan revolusi Indonesia. Ikut berdemonstrasi dan merasakan cekamnya masa itu, dan akhirnya harus berpisah karena keadaan tak memungkinkan karena terdorong revolusi.

Saya masih duduk di bangku sekolah dasar ketika kejadian tersebut berlangsung. Menyaksikan berita dari layar telivisi tetangga. Dan mentah-mentah percaya pada media. Tapi selesai membaca novel ini, saya seperti kembali, pada salah satu masa mencekam negeri ini. Membaca novel ini seperti ikut menyusuri jalanan dekat Semanggi dan ikut berdemonstrasi.





3. Namaku Mata Hari
                                                             

Bisa dibilang novel yang satu ini cukup berat. Bukan hanya dari jumlah halamannya saja, tapi juga apa-apa yang tercantum disana. Saya jadi sangat yakin, sebelum menulis novel ini, Remy Sylado sudah melakukan studi.

Novel ini bercerita tentang seorang wanita yang hidup di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Hidupnya kusut tapi menarik.

Novel ini juga menggunakan bahasa-bahasa asing seperti Belanda, Inggris, dan Perancis dalam beberapa kalimatnya. Menjadikan saya begitu kagum dengan seorang Remy Sylado. 

Dalam novel ini disebutkan beberapa tempat yang ada ketika masa penjajahan dahulu, sembari memberi catatan pada jejak kaki bahwa tempat yang ia sebutkan itu telah jadi apa atau harus ditemui dimana saat ini. Diselipkan juga beberapa foto hitam putih dan tulisan tangan yang nampak asli. Membuat saya, seperti berenang dalam kata-kata dan tidak merasa kelelahan melahap beberapa halaman sekaligus dalam beberapa menit saja. Mengaggumkan. 

***




Ya, itu lah tiga novel yang sudah dan sedang saya baca. Novel pertama dan kedua sudah selesai saya baca. Novel ketiga baru sampai halaman 366 dari 559 halaman.

Membaca ketiga novel di atas membuat saya seperti belajar sejarah tanpa repot-repot mengumpulan banyak file-file sejarah. Tentu saya juga tidak menerimanya mentah-mentah. Karena setiap informasi pasti memiliki kemungkinan untuk dikelok-kelokan. Tapi selaku pembaca, ketika saya membaca maka saya mempercayainya, supaya tidak rusak fantasi dalam panca indra. Ketika sudah selesai terbaca, sudah lah lain yang dirasa tentang sebuah berita.

Saya senang sekali bisa mendapatkan buku-buku ini, meski dua novel di atas saya hanya membelinya versi e-booknya saja, tapi saya senang bisa memilikinya, baik yang nyata maupun maya. Seperti kembali ke masa lampau, seolah-olah saya hidup di masa itu dan ikut menjadi bagian dari sejarah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar