Saya agak gimana gitu belakangan ini, terutama kalo lagi bonceng naik motor di jalanan Jakarta. Apalagi kalau jam-jam pulang kerja. Mengerikan!
Kadang saya merasa manusia itu seperti semut. Bedanya semut mengantri dan tidak berebut, sementara manusia sulit ditata dalam barisan yang rapi dan suka berebut. Tapi katanya, kalau tidak begitu di Jakarta justru akan kena getahnya sendiri.
Jadi gini loh, yang lagi bikin saya stres itu tentang berkendara di Jakarta. Seringkali dalam beberapa kesempatan ketika saya sedang membonceng tukang ojek, kawan atau bahkan suami, bulu kuduk saya menggetarkan lembut perasaan takut dan ngeri secara bersamaan ketika terhadang lampu merah.
Saya sebal kalau harus menanti lampu merah berubah hijau dimulai dari detik 90 atau 120. Bukan karena lamanya menunggu, tapi karena takut keburu banyak pengendara lain di belakang saya. Saya merasa warga Jakarta cukup garang sama yang namanya lampu merah. Semacam pasukan perang. Ketika warna hijau menyala seolah diberi tanda boleh pergi menyerang.
Dan betulah kengerian saya terjadi. Terbukti dengan belum jelas benar warna hijau menyala, para pengendara sudah was wis wus maju sliwar sliwer kanan kiri pake ngebut demi cepat sampai tujuan. Rasanya seperti barbar. Sangat mencemaskan!
Lantas saya teringat salah seorang teman yang bercerita kalau dia sempat diumpat banyak pengendara di belakangnya karena tak segera melajukan motornya ketika detik hitung mundur sudah mencapai angka 10. Karena merasa benar, dia santai saja. Tapi ternyata serbuan klakson pun membanjiri, mau tidak mau dia menepi demi menenangkan hati dan jiwa yang kacau balau diteror umpatan para pengendara yang tak sabar.
Kalau sudah begini pun saya bingung bagaimana bertindak benar. Karena terkadang demi keselamatan kita perlu fleksibel dan beradaptasi. Tapi adaptasi akan membentuk kebiasaan. Dan kebiasaan yang salah akan sulit dihilangkan. Nah pusing kan??!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar