Di awal Maret 2021 ini saya ingin sekali berbagi salah satu pengalaman yang cukup mengecewakan dan menyakitkan buat saya, yaitu ketika anak tercinta didiagnosa speech delayed.
Awalnya saya mengira perkembangan bahasa Navid, anak saya, sangat pesat, karena di usia sekitar 9-10 bulan mampu mengucapkan sekitar 10-12 kata. Kata-kata itu antara lain : bebeg, jajah, teteh, nen, moo, dlsb. Saya masih tenang-tenang saja saat Navid menginjak usia 1 tahun. Meski tidak ada penambahan kata yang berarti, namun ia tetap mampu mengucapkan beberapa kata yang sudah ia kuasai sebelumnya. Menjelang usia 1.5 tahun, saya merasa sedikit aneh karena Navid mulai berkurang mengatakan sesuatu. Rasa aneh itu kemudian berlanjut menjadi kekhawatiran ketika Navid menginjak usia 2 tahun. He became quite. There was no single word he ever said. Seluruh kata-kata yang dulu sempat ia ucapkan menghilang. Dia banyak diam. Bila diajak bicara pun ia tidak merespon dengan kata, melainkan dengan tindakan seperti menunjuk benda.
Syukur Alhamdulillah saya adalah seorang perempuan yang sangat sensitif (sehingga mudah tersinggung dan kepikiran) dan amat memperhatikan detail ketika merasa ada yang aneh. Kesensitifan saya ini terkadang memang berkembang menjadi paranoia. Dan akibat paranoia ini, saya bisa mengkonsultasikan rasa aneh mengenai perkembangan bahasa Navid ke dokter spesialis anak kami sejak Navid umur 1.5tahun. Saat itu, dokter meminta saya untuk terus mengamati hingga usia Navid mencapai 2 tahun. Maka, ketika Navid merayakan ulang tahun yang kedua dan dia hampir tidak bicara sama sekali, masalah ini kembali saya konsultasikan ke DSA.
DSA kemudian memberikan rujukan ke DSA lain yang mendalami kasus seperti Navid, yaitu Prof. Herdiono. Alhamdulillah nya lagi, DSA kami sangat baik, dia dengan jelas memberitahukan bahwa selain tempat praktek sang profesor jauh dari Depok (tempat tinggal kami), kemungkinan besar profesor juga sudah mempunyai jadwal yang padat dengan pasien-pasien lain terdahulunya. Sehingga DSA kami pun memberikan beberapa pilihan dokter spesialis lain yang masih merupakan anak murid dari sang Profesor. Dan dari sekian nama, berkonsultasilah kami dengan dr. Lies Dewi N, Sp. A (K) di RS Permata Cibubur.
Hasil konsultasi dengan dr. Lies adalah Navid resmi dinyatakan Maturational Delayed Speech dan diberi rujukan terapi sensori integrasi dengan pengamatan triwulanan di salah satu tempat terapi di Cibubur. Sayangnya, setelah saya, suami, juga Navid datangi tempat itu, tempat terapi tersebut sedang tutup untuk beberapa bulan. Oya, saat itu sekitar bulan Juni 2020, virus corona dari negara api sudah menyerang Indonesia. terbayang kan seberapa risaunya saya yang mau tidak mau harus mondar-mandir ke dokter dan rumah sakit membawa anak usia 2 tahun agar dia mendapatkan haknya untuk berkembang dalam komunikasi sebagai mana anak-anak seusianya?
Oleh karena tempat terapi tersebut tutup, atas anjuran dr. Lies pula tempat rujukan diubah ke Child Development Center, Eka Hospital Cibubur. Bila mengingat ini, saya sungguh bersyukur Allah SWT membantu dan memudahkan kami dengan bertemu dokter-dokter, terapis, dan tempat terapi yang tepat.
Meskipun ternyata belakangan kami ketahui kalau dr. Lies membuka praktek juga di Eka Hospital Cibubur, tetapi rujukan yang kami pegang berkopkan RS Permata Cibubur, dan saat itu dr. Lies sedang tidak ada jadwal, maka kami dialihkan ke dr. Roy. Sistem di sana mengharuskan anak diterapi dengan pengawasan dan terintegrasi dengan dokter yang terkait, sehingga kami pun manut saja, toh ini hal bagus.
Dari hasil konsultasi dan rujukan dokter Roy, Navid dapat langsung membuat jadwal terapi sensori integrasi di Child Development Center, EHC di sana. Navid diminta mengikuti terapi sensori integrasi selama 3x seminggu.
Awal terapi memang berat. Navid nangis, tidak mau dilepas dari dekapan saya, menjerit-jerit, hingga muntah karena terlalu lama menangis. Tetapi, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, ketakutan Navid semakin berkurang dan hilang. Beda halnya, saat saya terapi-kan Navid di salah satu tempat terapi di kawasan Grand Depok City.
Karena ini sangat penting bagi para orang tua yang mungkin mempunyai anak dengan kasus serupa anak saya, maka akan saya ceritakan poin ini :
1.Saya sebagai orang tua mengakui bahwa saya melakukan kesalahan dengan sempat sembarang memilih tempat terapi tanpa mempertimbangkan lebih banyak hal selain ketergesaan kebutuhan komunikasi anak.
2.Saya juga sebagai orang tua mengakui bahwa saya melakukan kesalahan dengan sempat sembarang memilih tempat terapi tanpa berdiskusi lebih dulu dengan DSA.
Singkatnya begini, karena jiwa paranoia saya sangat kuat, saya konsultasikan masalah Navid ke salah satu psikolog anak di salah satu tempat terapi di kawasan Grand Depok City lebih dulu tanpa menunggu usianya genap 2 tahun dan tanpa berdiskusi dengan DSA. Hasil konsultasi keluar dengan saran kuat untuk melakukan dua terapi yaitu terapi sensori dan terapi wicara sekaligus. Saya iya kan, karena saya ingin Navid segera tertangani. Namun yang terjadi adalah, hari ke hari Navid semakin takut bahkan seperti trauma.
Yang menyebalkan bagi saya saat itu adalah, terapis yang menangani Navid selalu berganti dan tidak terintegrasi. Hari ini dengan terapis A lalu mengatakan "..tapi problem solvingnya bagus loh." Kemudian lain hari dan hari berikutnya dengan lain-lain terapis juga mengatakan "...problem solving Navid bagus, Bu." WHAT?? Are you serious? This is a serious indication that they're less proffesionals. Kenapa mereka mengucapkan hal yang sma berulang-ulang, apkah mereka tidak saling ternotice kalau itu memang keunggulan Navid??
Hal lain yang mengganggu buat saya adalah, klaim mereka tidak terbukti pada Navid. Salah satu terapis sempat mengatakan bahwa Navid sensitif dengan tekstur sikat. Jika sikat itu digosokan maka dia menangis. Saya tertantang, saya beli itu sikat serupa, saya gosok-gosokan perlahan ke tangan Navid, awalnya Navid menarik tangannya namun selanjutnya dia biasa saja, tidak menangis, dan tidak datar, dia berekspresi, yang mana itu bagus, karena ekspresinya seperti geli tapi tidak ketakutan dan tidak menghindar.
Akhirnya saya berkesimpulan, bahwa anak saya mengalami kesulitan untuk mengenal dan bisa lebih dekat dengan terapisnya karena selalu berganti terapis dan mereka selalu memakai masker juga face shield (yang mana harus karena kondisi pandemi, dan saya tidak mengeluhkan ini).
Berganti-ganti terapis adalah BIG NO buat saya. Kalau kita harus berhadapan dengan anak usia kurang dari 2 tahun, maka yang pertama sekali harus dilakukan adalah membuat mereka merasa nyaman, aman, dan dekat dengan kita. Bagaimana itu terjadi jika terapis terus berganti meski jenis terapinya sama?
Dan belakangan saya ketahui bahwa setiap terapis memiliki semacam mahzab yang berbeda dalam menangani anak yang berkebutuhan khusus atau mengalami kasus khusus. Ada yang berpegang dengan cara keras, seperti gerakan-gerakan yang mau tidak mau anak diseret untuk melakukannya. Ada pula yang berpegang dengan cara menyenangkan seperti mengajak anak bermain.
Ya Allah syukur Alhamdulillah, DSA kami memberi tahu hal ini, bahwa tidak semua tempat terapi itu bagus dan kemampuan berbicara sungguh berkejar-kejaran dengan usia. Usia terbaik untuk meningkatkan kemampuan berbicara adalah di usia 0-3 tahun. Jadi kalau kita menunda terapi dan atau memilih tempat terapi yang tidak tepat untuk menangani kasus terlambat bicara ini, sayang sekali, kita akan kehabisan waktu yang sangat prima bagi anak untuk lebih mudah menyerap ilmu bagi perkembangan bahasanya. Dokter pun kurang lebih sempat menjelaskan begini, "lalu apakah setelah anak usia 3 tahun, mereka tidak lagi bisa belajar berbicara? Setelah usia 3 tahun, anak masih bisa belajar berbicara namun akan sangat memudahkan bagi mereka jika kita menstimulasi di masa golden age 0-3 tahun itu, karena tumbuh kembang seluruh aspek tubuh dan psikologisnya pun sedang terjadi dengan gencar-gencarnya sehingga bisa saling terintegrasi." Ini semacam kalau kita belajar bahasa Inggris atau belajar mengaji, tentu akan lebih mudah dikuasai jika dilakukan sedini mungkin bukan??? Dari situ lah, saya dan suami mengeluarkan Navid dari tempat terapinya yang lama.
Kembali ke cerita semula. Menjelang bulan ketiga melakukan terapi dan sesekali konsultasi sesuai kebutuhan dan jadwalnya di CDC, EHC, Navid menunjukan perkembangan berarti. Dia mulai bicara! Navid mengucapkan satu per satu kata meski belum begitu sempurna dan belum membentuk kalimat. Kata- kata yang diucapkan Navid ntara lain seperti : atoh (jatoh), mam (makan), bobo, eong (kucing), ape (HP), ebok (cebok), popop (popok), dlsb. Hari demi hari pun kosa katanya semakin bertambah. Maka, di bulan ketiga itu, atas saran terapis dan dokter Roy, terapi sensori integrasi Navid yang semula 3xseminggu, berkurang menjadi 2xseminggu ditambah 1xseminggu terapi wicara.
Ternyata terapi wicara pun menantang, karena selain saya tidak bisa melongok dari luar untuk mengintip apa yang dilakukan Navid ketika terapi berlangsung, Navid diharuskan untuk terus duduk manis selama kurang lebih satu jam dan berkomunikasi dengan baik dengan terapisnya. Tentu saja, sama halnya dengan terapi sensori integrasi, di awal Navid kesulitan mengikuti. Namun karena saran terapi wicara ini benar-benar matang dengan mempertimbangkan pencapaian Navid di kelas terapi sensori integrasi, Navid masih mampu mengikuti terapi wicara dengan baik hingga beberapa menit di awal, dan menjelang menit-menit akhir baru lah ia menangis ingin pulang. Namun, saat sudah beberapa kali dijalani, Navid mampu menguasai diri dan bertahan di kelas terapi wicara tanpa menangis dan dengan bergembira. Dia juga akrab dengan terapis sensori dan terapis wicaranya. Hal ini sungguh melegakan buat saya, karena kalau anak nyaman sungguh saya merasa terbantu.
Tiga bulan berlalu, sesuai jadwal, kami harus kembali berkonsultasi dengan dr. Lies untuk mengetahui apakah terapi Navid tetap berlanjut atau tidak, dan jika berlanjut bagaimana proporsi jenis terapinya. Sayangnya, saat itu dr. Lies sedang cuti sakit untuk waktu yang cukup lama. Sedangkan kami sudah sangat risau harus bolak-balik rumah sakit di tengah pandemi. Saya dan suami pun berkonsultasi dengan dr. Roy, dan meminta ijin beliau untuk menyudahi terapi karena ingin pulang kampung sekaligus melihat bagaimana perkembangan bahasa dan kemampuan bicara Navid jika bertemu banyak saudara di kampungnya nanti.
Dr. Roy memahami dan memaklumi keresahan kami sebagai orangtua. Memang dilematis jika harus membawa anak kecil terus-menerus ke rumah sakit meski itu untuk tujuan yang baik. Dr. Roy pun menginjinkan untuk menyudahi terapi Navid sementara waktu. Kami juga berpamitan dengan terapis Navid. Kami pulang kampung dengan banyak anjuran untuk tidak sering menonton TV dan sederet kegiatan agar kemampuan bicara Navid yang sudah terbentuk tidak mundur atau menghilang.
Singkat cerita, setelah beberpa bulan di kampung halaman, kemampuan bicara Navid berkembang pesat. Dia sudah mampu berbicara dengan satu kalimat utuh, bahkan sesekali kalimatnya tidak hanya terdiri dari 3-4 kata saja, melainkan sampai 6 hingga 8 kata. Alhamdulillah, kami sungguh bersyukur. Sekarang, kami sudah kembali ke Depok, dan Navid sudah sangat cerewet, bahkan sering saya bilang "bawel!" ketika dia mengoceh terus karena meminta hal yang sama namun tidak saya penuhi.
Meski, saya dan suami masih merasa perlu berkonsultasi dengan dr. Roy/dr. Lies dan meski kami juga masih merasa perlu untuk Navid mendapatkan terapi lanjutan, namun kami masih menahannya hingga kini. Tak lain tak bukan, tentu saja karena situasi pandemi yang belum juga membaik. Tetapi, kami sangat bersyukur, lega, dan senang, sudah berada di titik ini, melewati kesulitan itu bersama, dan berhasil mengatasinya. Alhamdulillahhirobilalaamiin. Saya berharap Allah akan memaafkan saya dan suami, yang tentu tanpa kami sengaja sudah sempat membuat kondisi yang tidak cukup mendukung tumbuh kembang berbahasa Navid.
Buat, orang tua di luar sana, yang sudah mampir ke blog saya, membaca tulisan ini dan merasa memiliki masalah yang sama, saya ingin bilang, "jangan patah semangat. Kesulitan Insya Allah terlewati dengan udaha dan doa."
Bagi yang ingin berbagi pengalaman terkait keterlambatan juga sok silakan saja ya. Sangat senang jika saya bisa membantu. Satu hal saja yang sangat tidak saya anjurkan, yaitu mencoba menterapikan anak dengan cara menonton TV/Yutub/gadget apapun tanpa rujukan profesional.
terimakasih telah berbagi pengalaman bunda..saya sangat terbantu dengan cerita bunda karena sekarang saya sedang menghadapi kebingungan yang sama ..sungguh di awal bingung mau bawa langsung ke klinik terapi wicara atau ke dsa dulu..dengan membaca cerita bunda jadi yakin harus membawa anak kami ke dsa terlebih dulu
BalasHapusSyukur alhamdulillah jika ada yg terbantu dari cerita pengalaman saya ini. Semoga cerita saya ini pun bisa memberi semangat Ibu untuk tetap optimis. Saya doakan yg terbaik untuk anak ibu, diri Ibu sendiri, dan ibu sekeluarga. Aamiin Ya Rabbal Alaamiin.
BalasHapus